Archive for November 9, 2012

Suatu ketika Ayah pulang dari tempatnya bekerja, tangannya menggenggam sebungkus plastik hitam. Sudah aku terka dari baunya, itu martabak coklat kacang kesukaanku. Dan ternyata benar, memang itu yang Ayah bawa. Kami pun menyerbu bungkusan yang Ayah bawa. Bau martabak hangat begitu amat menggoda, dengan lelehan coklat yang semakin menambah selera. Kami berebut, satu-dua kakak tertuaku mengambil jatahnya, disusul kakak keduaku dan aku tentunya. Aku makan dengan lahapnya. Tiba-tiba ada satu sisa potongan di atas meja. Ibu pun mengabilnya, hanya menggigit ujungnya dan memberikannya pada Kak Dhita, nama kakakku yang kedua.

Aku pun marah.

Aku marah karena merasa Ibu begitu pilih kasih pada kakakku yang satu ini. Ayah pun begitu. Aku kecil begitu amat iri dengan Kak Dhita. Dialah yang selalu Ayah banggakan. Aku iri tiap kali Ayah menyuruhku untuk berlaku spertinya. Kakakku yang satu itu memang anak yang wajar untuk dibanggakan. Sungguh elok perangainya. Senyumnya begitu manis, giginya begitu rapi, dan kacamata cantik menghiasai wajah kanak-kanaknya yang masih lugu kala itu. Sudah bisa ditebak , pastinya kakakku ini adalah kutu buku, dan memang. Berbeda dengan aku yang amat dekat dengan Iku, kakkku ini begitu dekat dengan Ayahku.

Kakakku ini adalah anak yang begitu rajin bekerja membantu Ibu.Membantu Ibu menucuci piring, membantu Ibu membersihkan rumah, dan jadwal rutinnya tiap sore yaitu menutup jendela dan korden tanpa disuruh terlebih dahulu. Beda denganku yang walaupun sudah disuruh tapi tetap enggan melakukannya. Kakakku ini juga merupakan anak yang begitu cerdas, tak pernah lepas dari peringkat 1. Sebenarnya dia adalah sosok kakak yang begitu amat baik untukku. Tiap kali pulang sekolah tak pernah lupa dibawakannya aku permen yang ia beli dari uang sakunya. Tapi tetap saja, aku selalu merasa iri dengannya, karena tiap kali aku bermalas-malasan Ibu akan memarahiku dan menyuruhku untuk meniru Kak Dhita. Aku tak suka dibandingkan. Kerap aku coba untuk mengganggunya, mulai dari menyembunyikan buku sekolahnya hingga mencukur gundul boneka barbie-nya. Tapi dia biasa saja, seolah menganggapku hanya berlaku selayaknya anak kecil biasa. Dia tak pernah tahu bahwa sesungguhnya di dalam dadaku buncah akan rasa iri terhadapnya.

Hingga suatu ketika persitiwa itu terjadi. Aku merasa dia akan pergi jauh meninggalkanku, aku pun bilang pada Ibu dan malah Ibu marah-marah padaku. Menyuruhku untuk tidak berbicara macam-macam. Itu semakin membuatku merasa disisihkan, merasa kakakku lebih diutamakan. Aku makin iri dengannya. Siang itu kakakku berpamitan untuk pergi mengerjakan tugas sekolahnya pada Ibu. Dengan membawa sepeda mininya, aku merasa ada suatu yang ganjil dengan itu. Aku ingat perintah Ibu untuk tidak macam-macam, aku pun diam. Siang itu tiada permen dari kakakku. Aku pun hanya bermain di luar rumah seperti biasa. Tiba-tiba teman kakakku datang berlari ke rumah sambil sesenggukan. Aku masuk ke dalam rumah dan mamangil Ibu, tak paham apa yang terjadi. Tiba-tiba Ibu terdiam, Ibu teriak sejadi-jadinya, Ibu menangis. Aku tak mengerti. Ibu pun pergi segera saat itu, aku tak tahu ke mana. Aku di rumah ditunggui tetanggaku sampai kakak pertamaku pulang sekolah. Sore tiba hingga malam pun menjelang, Ibu tak kunjung pulang dan Ayah jua tak ada. Aku mulai bertanya-tanya pada kakakku. Ke mana Ibu? Ke mana Ayah? Ke mana mereka? Kakakku hanya menyuruh sabar. Aku mulai menangis dan kakakku menghardikku dengan bahasa yang tak dapat ku tangkap maksudnya.

Aku marah saat itu, aku berpikir Ibu dan Ayah sedang pergi dengan Kak Dhita tanpa mengajakku. Aku rindu Ibu, aku takut sendirian, aku tak mau di rumah tanpa Ibu. Aku mulai hilang kendali, kubanting segala benda di dalam rumah. Kakak pertamaku tidak marah, dia justru menangis sejadi-jadinya.

Akhirnya esok tiba, Ibu dan Ayah masih belum kembali. Kakakku sudah bersiap berangkat sekolah, tante lah yang mengurusku pagi itu. Aku sedang malas, aku pilih bolos sekolah, aku sedang benci dengan Ibu, Ayah dan Kak Dhita. Aku benci mereka. Hingga malam tiba aku masih enggan makan, tanteku bingung, aku masih marah. Hingga tiada kuasa mataku menahan kantuk menunggu Ibu pulang ke rumah, aku tertidur.

Pagi Shubuh pun tiba, aku terbangun karen suasana ramai rumahku. Banyak orang di sini, Ibu dan Ayah sudah kembali. Aku berjalan ke ruang tengah dengan mambawa tas kecilku yang aku persiapkan untuk kabur dari rumah mencari Ibu malam sebelumnya. Tiba-tiba kakiku terhenti setelah terhadap pada kerumunan tetangga. Kakak tertuaku terlihat duduk di pojok ruang dengan wajah sendunya. Ada meja di ruang itu dan kulihat Kak Dhita terbujur di situ, dia telah tiada. Semua orang menangis, Ibu memelukku, aku pun akhirnya menangis tanpa tahu sebenarnya ada apa.

Ternyata saat siang itu, kakakku mengalami kecelakaan bersama temannya. Sebuah truk besar menghantamnya dari belakang. Itu lah yang mebuat Ibu histeris siang itu, itulah yang membuatnya menangis seketika. Sejak saat itu kakakku di bawa ke rumah sakit, Ibu dan Ayah ternyata menemani kakakku selama di ICU. Bahkan aku tak tahu soal itu. Yang aku ketahui adalah saat kakakku telah mebujur di hadapanku, tanpa hembusan nyawa lagi tanpa tawanya lagi. Itu artinya mulai hari-hari ke depan tiada lagi permen tiap pulang sekolah untukku. Tapi bukan itu yang aku sedihkan. Aku sedih karena aku sadar, aku ditinggalaknnya masih dalam rasa cemburu. Aku belum sempat mengatakan maaf kepada kakakku. Begitu cepat Tuhan mengabil nyawanya. Bahkan aku belum sempat mengembalikan buku catatannya yang aku sembunyikan di bawah lemari Ibu. Aku rindu pada kakakku, andai waktu bisa diputar kembali aku hanya ingin berkata maaf dan terima kasih atas segalanya, untuk permen-permen  yang diberikannya. Tapi itu sudah berlalu, Tuhan lebih menginginkan kakakku yang baik hatinya itu untuk berada di samping-Nya. Aku percaya Tuhan begitu menyayangi kakakku, oleh karenanya Dia memanggilnya. Semoga Tuhan meninggikan derajat kakakku di tempat sana. Meskipun terlambat tapi tiada salahnya kalau aku berkata, “Aku sayang kamu Kak. Aku rindu kamu, suatu saat pasti kita dipertemukan lagi, entah kapan itu. Insya Allah kita bertemu dalam tempat terindah-Nya.”

 

 

Tapi itu sudah berlalu, Tuhan lebih menginginkan kakakku yang baik hatinya itu untuk berada di samping-Nya. Aku percaya Tuhan begitu menyayangi kakakku, oleh karenanya Dia memanggilnya. Semoga Tuhan meninggikan derajat kakakku di tempat sana. Meskipun terlambat tapi tiada salahnya kalau aku berkata, “Aku sayang kamu Kak. Aku rindu kamu, suatu saat pasti kita dipertemukan lagi, entah kapan itu. Insya Allah kita bertemu dalam tempat terindah-Nya.” – IN MEMORIAM “PRADINA DUHITA (DHITA)”

Pesan Dari Membaca

Posted: November 9, 2012 in Jurnal Ceritaku

Masa kecil adalah masa yang identik dengan kebahagiaan, pasti juga penuh akan mainan. Tapi, tidak denganku. Sewaktuku kecil, aku lebih dahulu mengenal buku daripada mengenal mainan. Ya, itu sungguhan terjadi. Ayahku adalah seorang yang begitu maniak membaca, apapun bacaanya. Kata Ayah, manusia itu menjadi banyak tahu karena membaca. Jadi, sejak aku kecil Ayah sudah mengenalkanku lebih dahulu dengan buku. Dari mulai buku bergambar biasa, hingga buku canggih yang aku miliki saat itu. Di buku itu ada jarum jam yang bisa bergerak sendiri, itu canggih buatku. Buku mengenai pelajaran mengenal waktu.

Sejak umurku 5 tahun bahkan, aku sudah bisa menghapal 48 nama partai pemilu 1999. Lengkap dengan nomor urut dan siapa pemimpin partainya. Semua juga gara-gara Ayah. Dulu Ayah memberikanku gambar peserta pemilu dan gambar tokoh pemimpinnya. Di situlah aku mulai dikenal tetangga sebagai anak yang aneh. Karen di saat teman-teman yang lain sibuk bermain mobil-mobilannya, aku sudah bisa membaca koran waktu itu dan mulai suka bertanya-tanya tentang politik masa itu. Karena itu jugalah aku sangat suka dengan Amien Rais. Wajar, karena di tahun 1997-1998 wajah beliau lah yang selalu menghiasai layar kacaku. Bahkan kalau sedang ada beliau di layar kaca, aku akan menghalangi semua orang untuk melihatnya. Hanya aku yang boleh melihat.

Aku kecil adalah anak yang serba ingin tahu. Suatu ketika aku bertanya pada kakakku, kenapa langit berwarna biru? Kakakku menjawab sekenanya. Aku tanya pada Ibu pun hanya di jawab sekenanya, tanpa dalil yang jelas. Lalu kutanyakan pada Ayah, Ayah tidak menjawabnya. Namun, di esok harinya Ayah memberiku buku komik “Rahasia Pengetahuan”, di situlah aku mulai tahu kenapa langit berwarna biru. Selanjutnya ketika aku bertanya apa ibukota Suriname, saat itu juga Ayah langsung mengajakku ke daerah Maester Jatinegara, di situ aku dibelikan buku pintar seri junior. Aku khatam membaca buku tebal itu. Buku itu pun kubawa tidur sampai-sampai terbawa dalam mimpiku. Lalu, saat usiaku 6, Ayah menggantinya dengan buku pintar seri senior yang sampulnya berwarna jingga. Lebih tebal dan lebih berat. Tapi aku suka dengan buku itu. di saat teman-teman yang lain pamer akan tamiya-nya aku dengan bangga pergi bermain dengan menenteng buku itu.

 

Kata Ayahku, kalau aku mau mebaca buku maka aku akan menjadi banyak tahu.

 

Kata Ayahku, kalau aku mau mebaca buku maka aku akan menjadi banyak tahu. Maka di situlah Ayah sering mengajakku ke toko buku. Ayah begitu rutin membelikanku buku, tapi tidak untuk mainan. Jangan harap Ayah akan membelikanku itu, walaupun aku harus merengek tersedu-sedu. Tapi ketika aku meminta dibelikan buku Ayah akan dengan siap sedia membelikannya. Hal itu bahkan masih berlanjut sampai kuliah ini. Tiap kali aku minta uang untuk membeli buku, Ayah tak segan-segan memberi uang yang banyak untuk itu. Tapi ketika aku meminta uang untuk membeli baju baru, kata Ayah, “Yang lama masih bagus kan?”. Hanya seperti itu. Ya begitulah watak Ayahku. Tapi aku sadar manfaat dari semua itu. Membaca. Ya, membaca saat ini menjadi hal yang paling menyenangkan bagiku. Dalam sebulan bisa banyak buku yang aku selesaikan. Semua juga karena Ayah, aku meniru apa yang dilakukannya. Satu kebiasaan Ayah yang masih membuatku sedikit bingung adalah setiap hendak ke toilet Ayah selalu mambawa bacaan. Di sana Ayah bisa berlama-lama. Bahkan Ayah bercerita ingin membuat toilet yang luas dengan  perpustaakaan si dalamnya. Sungguh aneh perangai Ayahku. Tapi di balik semua itu, ya itulah poin lebih Ayahku menurutku. Aku merasa beruntung karena Ayah mengajarkanku untuk menyukai buku sejak kecilku. Banyak anak-anak zaman sekarang yang melihat buku saja sudah enggan, apalagi membacanya. Padahal di dalam sebuah buku kita bisa berfantasi tentang semua hal yang terjadi. Buku mengajarkanku begitu banyak ilmu dan buku mengajarkanku untuk memiliki fantasi dan imajinasi. Buku adalah jendela dunia, itu lah poster yang Ayah pasang di kamarku dulu sebagai pengingat betapa pentingnya arti membaca. Kalau hendak melihat dunia, haruslah banyak membaca.

 

Kalau hendak melihat dunia, haruslah banyak membaca.