Ayah, Peri Cintaku

Posted: November 7, 2012 in Jurnal Ceritaku
Tags:

Aku terlahir dari sebuah keluarga kecil sederhana di pinggiran Kota Jakarta, kota yang katanya banyak budaya dan peradaban berbaur dalam satu bahtera.

Aku bersyukur Tuhan masih memberikanku keluarga yang begitu lengkap, sampai saat ini aku pun masih merasakan kasih sayang utuh Ibu, Ayah, kakak dan adikku. Terlahir sebagai anak tengah itu adalah suatu yang sangat luar biasa untuk dirasa, merasakan sebagai seorang adik yang selalu mendapat kasih sayang juga dituntut menjadi seorang kakak juga harus membagi kasih sayangnya. Walaupun kadang kala pertengkaran sering terjadi di antara kami, di antara hubungan persaudaraan kami. Tapi kata Ibu itu adalah hal biasa, kadang hidup ada bahagianya ada juga bersitegangnya.

Meskipun begitu, aku kecil sering merasa iri dengan keluarga temanku yang lain. Dengan keluarga yang aku rasa sudah cukup lengkap itu, aku masih merasa ada satu yang hilang dalam kehidupan ini.

Kadang aku sering merasa keluargaku begitu berbeda. Walaupun Ibu dan Ayah begitu hangat membagi cinta kasih sayangnya, tapi selalu saja aku sering merasa perbedaan yang ada di antara mereka. Bagaikan ada satu jurang pemisah yang jauh sangat dalam hingga ke isi perut bumi. Teramat dalam untuk dilampaui.

Ayah, seorang yang begitu bijaksana bagiku. Ayahku adalah seorang yang cukup pendiam. Marah? Jarang Ayah meluapkan emosinya dengan marah-marah memakiku. Ketika marah Ayah lebih memilih mendiamkanku. Itu lebih terasa menyayat hati daripada memakiku. Tapi di situlah aku paham yang dimaksud Ayah, Ayah diam karena menungguku menyadari apa yang telah aku perbuat. Aku ingat ketika suatu saat aku kost jaman SMA, uang bulananku hilang. Mungkin jumlahnya tidak seberapa bagi orang lain, tapi cukup bermanfaat bagiku. Aku mengadu pada Ibu atas hilangnya uangku. Alih-alih meraih simpati malah Ibu habis-habisan memarahiku, menilaiku begitu ceroboh dan tidak peduli. Aku sadar itu memang kesalahanku, andai sedikit saja aku mau menghargai arti satu rupiah uang dan cara mendapatkannya, pasti aku akan lebih berhati-hati untuk itu. Tapi tidak untuk Ayah, Ayah tidak memarahiku seperti Ibu. Dia hanya diam dan berkata, “Ya sudah, kalau sudah hilang terus mau diapakan lagi?”. Hanya seperti itu, dan selanjutnya diam. Sempat kesal aku terhadap Ayah, begitu saja kah cukup? Aku sering menilai Ayah tidak peduli. Sampai akhirnya aku menelpon kakakku dan mengungkit-ungkit latar belakang Ayah, mengadu. Latar belakang Ayah? Iya, Ayahku adalah seorang yang berbeda. Seperti yang aku kata, aku sering iri dengan orang tua teman-teman yang lain yang mereka “seragam”. Kenapa tidak untuk orang tuaku?

Sejak kecil, teman-teman mainku sering meledek ketidakseragaman kedua orang tuaku. Itu benar-benar membuatku kesal dengan mereka, juga di situlah aku sering kesal dengan Ayah. Kenapa Ayah harus begitu? Kenapa Ayah tidak sama seperti Ibu, sama sepertiku? Kenapa Ayah harus berbeda? Kenapa?

Dulu, aku sering mengutuki Tuhan, kenapa Ayah harus bertemu dengan Ibuku? Aku bahkan sempat benci dengan Tuhan. Kenapa harus ada berbagai latar belakang yang membuat semua manusia di dunia tidak seragam dan serupa. Sungguh, aku benci dengan hal itu dulu, sangat benci. Hingga suatu ketika ledekan dari teman kecilku sudah sungguh membuat begitu marahnya aku. Aku pulang membanting pintu. Ibu terheran, aku menangis.

“Kenapa?”, tanya Ibu.

“Aku mau Ayahku bukan yang itu! Aku mau Ayah yang lain, yang sama seperti Ibu! Aku mau Ayahku diganti!”, keras jawabku.

Di situ, saat itulah, Ibu menangis, itu kali pertama yang aku rasa aku telah membuat Ibu menangis karena perkataanku. Ibu menangis. Tapi aku sudah terlanjur emosi, dadaku sesak mengutuki keadaan kedua orang tuaku. Aku membenci Ayah saat itu. Saat itu, mungkin sampai saat ini Ibu belum sekalipun menceritakan kejadian itu kepada Ayah. Kalau saat itu Ayah mendengar perkataanku mungkin hatinya akan begitu hancur.

Di sekolah ada suatu pelajaran berkaitan dengan norma, jujur, ini pelajaran yang paling aku hormati tapi sangat aku benci ketika sampai pada suatu bahasan mengenai latar belakang manusia. Mengenai apa yang manusia percayai dalam menjalani hidup, aku benci membahas itu. Otakku dipenuhi kekesalan yang amat sangat jika dibahas masalah itu, seketika aku akan teringat keluargaku, aku teringat kedua orang tuaku. Pertanyaan dan pertanyaan sering terbersit, “Kenapa Ayah berbeda? Kenapa?”. Banyak orang menilai perbedaan adalah warna, tapi perbedaan juga sering dijadikan alasan untuk saling memerangi, memusuhi. Kenapa?

Aku terus berharap Ayah akan sama seperti kami, kami semua di dalam rumah ini. Aku selalu menginginkan kita semua satu warna. Aku berharap memiliki keluarga seperti keluarga teman-teman yang lain. Yang sama, yang sewarna. Bisakah? Tapi, aku sadar, aku menyadari aku tiada hak untuk memaksa.

Aku percaya apa yang Ayah jalani, apa yang Ayah percayai. Aku yakin Ayah telah mengerti segala konsekuensi dan manfaatnya. Aku mulai mencoba untuk berpikir lebih dewasa mengenai arti dari sebuah toleransi. Mau bagaimanapun dia tetaplah Ayahku, Ayahku nomor 1 yang ketika marah selalu membuatku untuk menyadari apa kesalahanku. Ayahku memang berbeda, tapi dia tetap Ayahku, pemimpin keluargaku. Aku harus tetap hormat padanya, jiwaku ini ada karena cintanya. Aku tiada akan pernah lagi merutuki apa yang terjadi. Aku percaya bahwa meskipun kami berbeda tapi kami tetap keluarga. Dia masih Ayahku, Ayahku yang selalu membelikanku buku, Ayah yang mau bersusah payah kehujanan menjemputku, Ayah yang ketika aku sakit langsung mengantarkanku ke dokter walau hanya sakit gigi biasa. Aku sayang Ayah, aku cinta Ayah. Ayah, maafkan kalau aku dulu begitu sering kesal dan membencimu.

Aku yakin di setiap inci relung hatimu, pasti tak sedikitpun kau membenciku, membenci kami anak-anakmu yang berbeda denganmu. Ayah, peri cintaku.

Di dalam hati ini hanya satu nama
Yang ada di tulus hati ku ingini
Kesetiaan yang indah takkan tertandingi
Hanyalah dirimu satu peri cintaku

Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai

Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai

Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

Bukankah cinta anugerah berikan aku kesempatan
Tuk menjaganya sepenuh jiwa

Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

Leave a comment